Wawasan Al-Quran tentang
Pemberdayaan Pengemis
Oleh:
Arianne Sarah
A.
Latar Belakang
Semenjak krisis ekonomi melanda bagian wilayah Asia pada
akhir tahun 1990, membuat Indonesia sebagai salah satu warga Asia mengalami
berbagai masalah di bidang ekonomi. Bahkan Indonesia menjadi negara yang paling lambat melakukan
pemulihan ekonomi dari negara
Asia lainnya. Dampak dari krisis tersebut masih terasa dan terlihat sampai
sekarang. Sehingga fenomena kemiskinan, kemelaratan, pengangguran, kejahatan
sosial dan segala macam bentuk pelanggaran aturan hukum menjadi makanan
sehari-hari di media massa.[1] Padahal salah satu fungsi pembangunan suatu negara adalah
menciptakan kesejahteraan dan mengurangi kemiskinan bagi seluruh warganya dari masyarakat
miskin sampai masyarakat kaya sekalipun, baik laki-laki maupun perempuan, dari anak-anak
hingga orang dewasa, berkulit putih maupun berkulit hitam dan lain
sebaginya.
Kemiskinan
menjadi musuh terbesar semua negara
yang ada di bumi ini. Bahkan negara
besarpun tak luput dihantui oleh problem yang mendominasi negara kecil dan sedang berkembang. Kemiskinan
adalah fenomena yang begitu mudah dijumpai di mana-mana. Tak hanya di
desa-desa, tapi juga di kota-kota. Di balik kemegahan gedung-gedung pencakar
langit di Jakarta, misalnya, tidak terlalu sulit kita jumpai rumah-rumah kumuh
berderet di bantaran sungai, atau para pengemis yang berkeliaran di
perempatan-perempatan jalan. Harus diakui, Kapitalisme memang telah gagal
menyelesaikan problem kemiskinan. Alih-alih dapat menyelesaikan, yang terjadi
justru menciptakan kemiskinan. Akibat kemiskinan, timbul gelandangan dan
pengemis yang mendiami suatu wilayah tertentu terutama dikota-kota besar
seperti Jakarta. Pengemis menjadi problem sosial yang tak kalah akut akibat
merajalelanya kemiskinan. Setiap tahun selalu ada pengikatan pengemis, terlebih
ketika datangnya bulan Ramadhan. Hal ini terjadi karena kemiskinan yang menjadi
penyebab utama munculnya pengemis yang belum berhasil dituntaskan hingga
akar-akarnya.
B.
Pengertian Pengemis Perspektif Al-Qur’an
Dalam Al-Quran,
5 kali dalam pengertian meminta atau mengemis dan 3 kali dalam pengertian
bertanya.[2] Pengemis menurut terminologi ilmu
sosial adalah orang-orang yang mendapatkan penghasilan dengan meminta-minta. Sama
seperti gelandangan, pengemis berakar dari kemiskinan juga. Ayat Al-Qur’an yang
menjelaskan fenomena pengemisan adalah surah Adh-Dhuha(93): 9-11
$¨Br'sù zOÏKuø9$# xsù öygø)s? ÇÒÈ $¨Br&ur @ͬ!$¡¡9$# xsù öpk÷]s? ÇÊÉÈ $¨Br&ur ÏpyJ÷èÏZÎ/ y7În/u ô^ÏdyÛsù ÇÊÊÈ
“Sebab itu, terhadap anak yatim janganlah kamu
berlaku sewenang-wenang. Dan terhadap orang yang minta-minta, janganlah kamu
menghardiknya. Dan terhadap nikmat Tuhanmu, Maka hendaklah kamu siarkan
(bersyukur).”
Dalam
ayat ini, larangan untuk menghardik orang yang meminta-minta sama seperti
larangan membentak orangtua. Jadi hanya kedua orang inilah kita dilarang
membentak, mencampakkan, mengeraskan dan membuang seperti didalam surah al Isra
(17) : 23 Allah berfirman:
*
4Ó|Ós%ur y7/u wr& (#ÿrßç7÷ès? HwÎ) çn$Î) Èûøït$Î!ºuqø9$$Î/ur $·Z»|¡ômÎ) 4
$¨BÎ) £`tóè=ö7t x8yYÏã uy9Å6ø9$# !$yJèdßtnr& ÷rr& $yJèdxÏ. xsù @à)s? !$yJçl°; 7e$é& wur $yJèdöpk÷]s? @è%ur $yJßg©9 Zwöqs% $VJÌ2 ÇËÌÈ
“Dan
Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan
hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. jika salah
seorang di antara keduanya atau kedua-duanya
sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu
mengatakan kepada keduanya perkataan
"ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka
perkataan
yang mulia.”
Lihat
Kembali seperti di Surah adh- Dhuha ayat 10, larangan untuk menghardik para
pengemis:
$¨Br&ur @ͬ!$¡¡9$# xsù öpk÷]s? ÇÊÉÈ
“Dan terhadap orang yang minta-minta,
janganlah kamu menghardiknya.”
Maksud
menghardik disini adalah larangan untuk membentak dan mengeraskan nada bicara
kepada orang yang meminta-minta. Perlakukan mereka dengan memberikan sedikit
uang dan menolaknya dengan bahasa yang santun.[3]
Dengan demikian, peringatan Al-Quran pada ayat diatas adalah larangan untuk
orang beriman menghardik para pengemis karena mempertimbangkan dua hal. Pertama, para pengemis sedang meminta
haknya dari orang kaya yang dibenarkan oleh Al-Qur’an. Kedua, menghardik para pengemis dengan menyakiti perasaan mereka
yang seharusnya dibantu karena hidup mereka sungguh berat sehingga mudah
tersinggung perasaannya.
Menurut Al-Qur’an, pada harta orang kaya itu terdapat hak
orang miskin. Tetapi nyatanya ada orang miskin yang meminta haknya dan ada pula
orang miskin yang tidak meminta haknya. Az Zuhri lebih bersimpati kepada orang
miskin yang tidak meminta apapun kepada orang lain (al-Mahrum) karena menjaga kehormatan dirinya (ta’affuf) dibandingkan dengan orang miskin yang meminta-minta. Keterangan
diatas diperkuat dengan QS. Adz-Dzariyyat(51): 19 :
þÎûur öNÎgÏ9ºuqøBr& A,ym È@ͬ!$¡¡=Ïj9 ÏQrãóspRùQ$#ur ÇÊÒÈ
“Dan
pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang
miskin yang tidak mendapat bagian.”
Maksud
dari orang miskin yang tidak mendapat bagian ialah orang miskin yang tidak
meminta-minta.
C.
Pemberdayaan Pengemis Perspektif
Al-Qur’an
Pengemis merupakan
masalah sosial yang sangat kompleks. Jadi, dalam menghadapi masalah sosial
yaitu kemiskinan, Al-Qur’an menawarkan beberapa prinsip dalam pemberdayaan
gelandang dan pengemis[4]:
1.
Prinsip ta’awun, yakni prinsip kerja sama dan saling tolong-menolong
diantara lembaga kemasyarakatan, seperti Depsos, Dinas Sosial, LSM, para
relawan dan lain-lain. Bentuk ta’awun
meliputi kelembagaan, manajemen, finansial, sumber daya manusia, program,
metodologi dan kebijakan. Prinsip ta’awun
ini merupakan perintah Allah kepada orang-orang beriman sebagaimana yang ada di
QS. Al-Ma’idah(5):2
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä w (#q=ÏtéB uȵ¯»yèx© «!$# wur tök¤¶9$# tP#tptø:$# wur yôolù;$# wur yÍ´¯»n=s)ø9$# Iwur tûüÏiB!#uä |Møt7ø9$# tP#tptø:$# tbqäótGö6t WxôÒsù `ÏiB öNÍkÍh5§ $ZRºuqôÊÍur 4
#sÎ)ur ÷Läêù=n=ym (#rß$sÜô¹$$sù 4
wur öNä3¨ZtBÌøgs ãb$t«oYx© BQöqs% br& öNà2r|¹ Ç`tã ÏÉfó¡yJø9$# ÏQ#tptø:$# br& (#rßtG÷ès? ¢
(#qçRur$yès?ur n?tã ÎhÉ9ø9$# 3uqø)G9$#ur (
wur (#qçRur$yès? n?tã ÉOøOM}$# Èbºurôãèø9$#ur 4
(#qà)¨?$#ur ©!$# (
¨bÎ) ©!$# ßÏx© É>$s)Ïèø9$# ÇËÈ
“Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu melanggar syi'ar-syi'ar Allah dan jangan melanggar kehormatan
bulan-bulan haram jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya, dan
binatang-binatang qalaa-id dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi
Baitullah sedang mereka mencari karunia dan keredhaan dari Tuhannya dan apabila
kamu telah menyelesaikan ibadah haji, Maka bolehlah berburu. dan janganlah
sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi
kamu dari Masjidil haram, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). dan
tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan
tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada
Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya.”
2.
Prinsip syura’, yakni prinsip musyawarah diantara pemerintah dan
pihak-pihak lembaga kemasyarakatan seperti Depsos, LSM dan lain-lain dalam satu
program kepedulian terhadap masalah gelandangan dan pengemis dengan
mengidentifikasikan masalah-masalah sosial terlebih dahulu yang menyebabkan
munculnya fenomena gelandangan dan pengemis serta merumuskan langkah-langkah
penanggulangannya. Prinsip ini diperkuat oleh QS. Asy-Syura(42): 38
tûïÏ%©!$#ur (#qç/$yftGó$# öNÍkÍh5tÏ9 (#qãB$s%r&ur no4qn=¢Á9$# öNèdãøBr&ur 3uqä© öNæhuZ÷t/ $£JÏBur öNßg»uZø%yu tbqà)ÏÿZã ÇÌÑÈ
“Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya
dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat
antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan
kepada mereka.”
3.
Pemberdayaan pengemis dilakukan dengan
berpegang teguh kepada prinsip bahwa mereka memiliki kemampuan untuk mengubah
diri mereka dengan penguatan kekayaan mentalitas yakni keimanan dan ketakwaan
serta penguatan keterampilan bertahan hidup yang terpendam. Ini adalah tugas
pengembangan masyarakat sebagai pendamping untuk menolong mereka agar keluar
dari keterpurukan hidupnya.
4.
Pemberdayaan pengemis didasarkan atas
prinsip kasih sayang. Bisa diwujudkan dalam bentuk pemanfaatan dana zakat, infak,
dan sedekah untuk kepentingan pemberdayaan kaum gelandangan dan pengemis serta
untuk mantan gelandangan dan pengemis agar bisa hidup mandiri dan tidak kembali
menggelandang dan mengemis, dapat ditampung di dalam forum komunitas mantan
pengemis dengan memberi program pelatihan keterampilan, peningkatan kualitas
keterampilan, memasarkan produk keterampilan, menghubungkan dengan jaringan
permodalan pasar yang lebih luas dan mengembangkan budaya belajar untuk hidup
menanbung. Ini untuk memenuhi pesan Al-Qur’an surah al-Ma’idah(5):2
5.
Setelah melewati tahapan penyadaran,
dilanjuti dengan pemberdayaan kaum dhuafa secara umum dan pemberdayaan pengemis
dengan berpegang teguh kepada prinsip mantan pengemis yang telah berhasil
keluar dari kehidupan buruknya karena seseorang bertanggung jawab untuk dirinya
sendiri untuk lebih berdaya bukan orang lain.
6.
Kaum Muslimin yang memiliki asset kekayaan
dan tergolong orang yang mampu, perlu senantiasa menyadari dengan penuh
keinsyafan bahwa didalam harta mereka ada hak kaum dhuafa. Membantu orang orang
yang lemah (dhuafa) melalui zakat, infak, sedekah dan sebisa mungkin
menghindari pemberdayaan dhuafa dengan mengandalkan bantuan dana asing, karena
bantuan dari asing akan menjadikan diri kita tergantung kepada bantuan mereka.
Seperti sabda Rasulullah:
“ya Allah, aku berlindung kepada-Mu
dari sifat malas, dililit utang, dan dikuasai seseorang”
D.
Solusi Terhadap Permasalahan Kemiskinan
Perspektif Al-Qur’an
Sangat memprihatinkan sekali, ketika negara
lain sedikit demi sedikit keluar dari permasalahan kemiskinan, mencari jalan
keluar yang efektif sedangkan Indonesia hanya mempertontonkan kemiskinan itu
tanpa memperdulikan tontonannya itu. Dawam Raharjo (2007:52) menyebutkan bahwa
bangsa Indonesia merupakan umat Islam terbesar kedua di dunia. Namun
demikian,tidak beriringan dengan peringkat kualitas SDM dan ekonominya. Justru
umat Islam berada dibarisan paling belakang, tertinggal telak oleh penganut
ajaran agama Hindu dan Budha di dunia.[5] Al-Qur’an memandang
kemiskinan sebagai masalah sosial dan sekaligus masalah kemanusiaan yang patut
mendapatkan perhatian serius melalui program-program terencana, terintegrasi
dan menyeluruh dalam waktu yang terus berkelanjutan tanpa lelah dan tanpa
henti. Al-Qur’an sebagai kitab yang
dapat memberikan solusi terhadap segala permasalahan hidup umat manusia,
menawarkan sejumlah strategi dan formula pengentasan kemiskinan yaitu sebagai
berikut:
1.
Pemerataan Pendidikan untuk Orang Miskin
Sholat merupakan
tiang Agama. Begitupun dengan pendidikan. Pendidikan merupakan tiang kehidupan.
Tanpa pendidikan manusia akan bodoh, menjadi pengangguran, gelandangan,
pengemis dan menjadi benalu masyarakat. Pendidikan memberikan peran yang sangat
sentral bagi kelangsungan hidup seseorang. Tidak mendapatkannya pendidikan,
baik formal, informal dan non formal dapat berimbas secara langsung terhadap
kemiskinan seseorang. Sehingga menyebabkan orang tersebut tidak memiliki
keterampilan hidup dan akibatnya tidak siap untuk berkompetisi secara sehat dan
menjadi orang bodoh yang sulit mendapatkan pekerjaan yang layak. Data Badan
Pusat Statistik (BPS) Nasional tahun 2008 menyebutkan bahwa Indonesia memiliki
sekitar 35 juta warga miskin dan 76 persen diantaranya adalah mereka yang tidak
mendapatkan pendidikan yang layak, yakni hanya lulusan SD atau SR.[6] Al-Qur’an memandang
pendidikan amat penting bagi setiap orang, karena dengan pendidikan harkat dan
martabat manusia akan terangkat. Seperti firman Allah, QS.Al-Mujadalah(58): 11
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sÎ) @Ï% öNä3s9 (#qßs¡¡xÿs? Îû ħÎ=»yfyJø9$# (#qßs|¡øù$$sù Ëx|¡øÿt ª!$# öNä3s9 (
#sÎ)ur @Ï% (#râà±S$# (#râà±S$$sù Æìsùöt ª!$# tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä öNä3ZÏB tûïÏ%©!$#ur (#qè?ré& zOù=Ïèø9$# ;M»y_uy 4
ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ×Î7yz ÇÊÊÈ
“Hai orang-orang beriman apabila
kamu dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis", Maka
lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila
dikatakan: "Berdirilah kamu", Maka berdirilah, niscaya Allah akan
meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi
ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu
kerjakan.”
Ayat
lain tentang pendidikan adalah QS. an-Nahl(16): 97 yang menyatakan bahwa bagi
manusia yang ingin bahagia dalam hidupnya maka pendidikan merupakan amal shaleh
yang menjadi kewajiban setiap orang.
ô`tB @ÏJtã $[sÎ=»|¹ `ÏiB @2s ÷rr& 4Ós\Ré& uqèdur Ö`ÏB÷sãB ¼çm¨ZtÍósãZn=sù Zo4quym Zpt6ÍhsÛ (
óOßg¨YtÌôfuZs9ur Nèdtô_r& Ç`|¡ômr'Î/ $tB (#qçR$2 tbqè=yJ÷èt ÇÒÐÈ
“Barangsiapa
yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, Maka
Sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baikdan Sesungguhnya
akan Kami beri Balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa
yang telah mereka kerjakan.”
Dari
ayat diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa sesungguhnya pendidikan amat penting
menurut Al-Qur’an. Seperti salah satu sabda Nabi Saw berikut ini:
“Barang siapa yang ingin memperoleh
kebaikan di dunia, maka tuntutlah ilmu. Dan barangsiapa yang ingin mendapatkan
kebaikan di akhirat, maka tuntutlah ilmu dan barangsiapa yang ingin memperoleh
kebaikan pada keduanya, maka tuntutlah ilmu”. (HR.
Muslim)
Dengan demikian, kemiskinan yang masih
membelenggu sebagian besar rakyat Indonesia ini, salah satu cara terbaiknya
dengan memberikan kesempatan memperoleh pendidikan kepada seluruh warga
negaranya. Jadi, sudah seharusnya kita semua terutama pemerintah memikirkan
strategi agar pendidikan bisa dinikmati oleh semua kalangan, terutama rakyat
miskin baik secara geografis maupun biaya. Semangat pemerataan pendidikan
sesungguhnya bisa kita temukan dalam konsep ajaran Islam yang berbunyi:
“Thalabul
ilmi faridhatun ‘ala kulli muslimin wa muslimatin”.
“Menurut
ilmu (pendidikan) adalah kebajiban bagi orang Islam baik laki-laki maupun
perempuan”.
2.
Membangun Etos Kerja yang Tinggi
Kemiskinan
terjadi karena perilaku dan mentalitas yang tidak disiplin, orientasi ke depan
rendah, dan etos kerja yang lemah. Etos kerja adalah modal dasar yang sangat
dominan bagi peningkatan kualitas hidup seseorang dalam berbagai aspeknya.[7]
Mahkota umat Islam adalah jihad. Bukan jihad yang diartikan sebagai peperangan
melainkan jihad yang dimaksud disini adalah sikap bersungguh-sungguh untuk
mengerahkan seluruh potensi diri untuk mencapai suatu tujuan dan cita-cita.
Inilah arti Jihad yang sesungguhnya, sebagimana firman Allah di dalam QS. Al’ankabuut(29):
6
`tBur yyg»y_ $yJ¯RÎ*sù ßÎg»pgä ÿ¾ÏmÅ¡øÿuZÏ9 4
¨bÎ) ©!$# ;ÓÍ_tós9 Ç`tã tûüÏJn=»yèø9$# ÇÏÈ
“Dan
Barangsiapa yang berjihad, Maka Sesungguhnya jihadnya itu adalah untuk dirinya
sendiri. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu)
dari semesta alam.”
Ayat
lain yang membahas berjihad itu anjuran Allah adalah QS. Al’Ankabuut(29): ayat 69
z`Ï%©!$#ur (#rßyg»y_ $uZÏù öNåk¨]tÏöks]s9 $uZn=ç7ß 4
¨bÎ)ur ©!$# yìyJs9 tûüÏZÅ¡ósßJø9$# ÇÏÒÈ
“Dan
orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar- benar akan
Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan kami. dan Sesungguhnya Allah
benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.”
$ygr'¯»t úïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qãè2ö$# (#rßàfó$#ur (#rßç6ôã$#ur öNä3/u (#qè=yèøù$#ur uöyø9$# öNà6¯=yès9 cqßsÎ=øÿè? )
ÇÐÐÈ
“Hai
orang-orang yang beriman, ruku'lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan
perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan.”(QS. Al-Haji(22): 77
Jihad berati suatu “kegilaan” untuk mengerahkan seluruh
daya dan ikhtiar, suatu mesin batin yang terus bergemuruh dan meronta, seraya menggerakkan
pori-pori, urat syaraf dan kemudian melahirkan daya gerak yang menabjukkan.[8] Maka makna jihad dalam kaitannya dengan bekerja, berihktiar atau mewujudkan suatu cita-cita adalah menjadi satu
kekuatan yang secara padu harus terus menyala serta digali dan di uji potensinya
sehingga mampu mengeluarkan energi yang membangun. Apa arti sebuah cita-cita tanpa adanya keinginan
serta daya juang yang tinggi, itu hanyalah impian belaka, obsesi kosong yang
kemudian hanya membuahkan sebuah khayalan semata. Islam mengajarkan agar hidup
selalu mempunyai arah dan tujuan dan ditanamkan secara nyata bahwa keinginan
itu wajib diwujudkan dengan dorongan jihad. Kita boleh bermimpi, tetapi lebih
dari itu jadikanlah mimpi menjadi kenyataan dengan mengerahkan seluruh potensi
diri untuk mewujudkannya. Karena Allah tidak akan pernah mengubah nasib diri
kita kecuali diri kita sendiri yang secara aktif ingin dan mempunyai tujuan
untuk mengubah nasib kita sendiri. Seperti ditekankan
dalam firman Allah di QS.
Ra’d(13):11
¼çms9 ×M»t7Ée)yèãB .`ÏiB Èû÷üt/ Ïm÷yt ô`ÏBur ¾ÏmÏÿù=yz ¼çmtRqÝàxÿøts ô`ÏB ÌøBr& «!$# 3
cÎ) ©!$# w çÉitóã $tB BQöqs)Î/ 4Ó®Lym (#rçÉitóã $tB öNÍkŦàÿRr'Î/ 3
!#sÎ)ur y#ur& ª!$# 5Qöqs)Î/ #[äþqß xsù ¨ttB ¼çms9 4
$tBur Oßgs9 `ÏiB ¾ÏmÏRrß `ÏB @A#ur ÇÊÊÈ
“Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang
selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya
atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak merubah Keadaan sesuatu kaum
sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. dan apabila
Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, Maka tak ada yang dapat
menolaknya dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia (Allah).”
Qur’an
diatas di Nash kan oleh sabda Rasulullah:
“Bekerjalah untuk duniamu
seakan-akan kamu hidup untuk selama-lamanya, dan bekerjalah untuk akhiratmu
seakan-akan engkau akan mati besok.”
Dari
ayat Al-Qur’an dan Hadits Rasulullah diatas, memperlihatkan bahwa sesungguhnya
pandangan Islam tidaklah sempit. Islam tidak mengajarkan tentang keterbatasan.
Maksudnya hanya mementingkan soal akhirat saja atau dunia semata tapi lebih
dari itu Islam menganjurkan bahwa kehidupan dunia harus seimbang, tidak
berlebihan, tidak pula kekurangan. Islam mengajarkan bahwa kehidupan dunia
adalah tanaman hidup untuk perjalanan abadi ke akhirat. Jadi, salah satu solusi
terbaik keluar dari kemiskinan adalah dengan meningkatkan etos kerja dalam
kehidupan umat Islam dengan berjihad, sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Jumu’ah(62):
10
#sÎ*sù ÏMuÅÒè% äo4qn=¢Á9$# (#rãϱtFR$$sù Îû ÇÚöF{$# (#qäótGö/$#ur `ÏB È@ôÒsù «!$# (#rãä.ø$#ur ©!$# #ZÏWx. ö/ä3¯=yè©9 tbqßsÎ=øÿè? ÇÊÉÈ
“Apabila telah ditunaikan
shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia Allah dan
ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.”
br&ur }§ø©9 Ç`»|¡SM~Ï9 wÎ) $tB 4Ótëy ÇÌÒÈ ¨br&ur ¼çmu÷èy t$ôqy 3tã ÇÍÉÈ
“Dan bahwasanya seorang manusia tiada
memperoleh selain apa yang telah diusahakannya, dan bahwasanya usaha itu kelak
akan diperlihat (kepadanya).”QS. An-Najm(53):39-40
#sÎ*sù |Møîtsù ó=|ÁR$$sù ÇÐÈ 4n<Î)ur y7În/u =xîö$$sù ÇÑÈ
“Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu
urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain ,dan hanya
kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap.” QS. Alam Nasyrah(94):7-8
3.
Pemberdayaan Harta Zakat untuk
Kesejahteraan Umat
Kemiskinan
menjadi persoalan amat serius yang segera harus dituntaskan agar tidak
membahayakan akidah dan moral anggota masyarakat Islam. Pedoman dalam pemberantasan
kemiskinan adalah Al-Quran, karena ia adalah kitab anti kemiskinan.[9] Al-Qur’an
selalu membela kaum miskin dan peduli pada kaum dhuafa. Al-Qur’an memandang
bahwa pengentasan kemiskinan, salah satunya dilakukan dengan sikap
kederamawanan kaum kaya. Al-Qur’an melarang manusia yang mementingkan diri
sendiri dan mempunyai sifat ketamakan. Bahkan Al-Qur’an menegaskan bahwa
menolong anak yatim dan fakir miskin dianggap jauh lebih mulia dihadapan Allah
daripada melaksanakan seremoni-seremoni luar, termasuk yang tampak seolah-olah
sedang melaksanakan ajaran Islam. Contohnya seperti, Al-Qur’an menganggap lebih
mulia orang yang tidak jadi melaksanankan ibadah haji padahal berbagai halnya
telah mencukupi, disebabkan karena ongkos naik haji diberikan untuk membantu
orang yang kelaparan.[10] Al-Qur’an
mengingatkan bahwa dalam harta orang kaya ada hak fakir dan miskin seperti
firman Allah dalam QS. Az-Zariyat(51):
19
þÎûur öNÎgÏ9ºuqøBr& A,ym È@ͬ!$¡¡=Ïj9 ÏQrãóspRùQ$#ur ÇÊÒÈ
“Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang
meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian.”
Ayat
lain yang mewajibkann membantu sesama muslim yang belum hidup wajar sebagai
manusia adalah:
¼çm¯RÎ) tb%x. w ß`ÏB÷sã «!$$Î/ ÉOÏàyèø9$# ÇÌÌÈ wur Ùçts 4n?tã ÇP$yèsÛ ÈûüÅ3ó¡ÏJø9$# ÇÌÍÈ
“Sesungguhnya Dia dahulu tidak beriman kepada
Allah yang Maha besar. dan juga Dia tidak mendorong (orang lain) untuk memberi
Makan orang miskin.”QS. Al-Haaqqah(69): 33-34
|M÷uäur& Ï%©!$# Ü>Éjs3ã ÉúïÏe$!$$Î/ ÇÊÈ Ï9ºxsù Ï%©!$# íßt zOÏKuø9$# ÇËÈ
“Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang
menghardik anak yatim.” QS. Al-Ma’un(107): 1-2
(#qßJÏ%r&ur no4qn=¢Á9$# (#qè?#uäur no4qx.¨9$# (#qãèx.ö$#ur yìtB tûüÏèÏ.º§9$# ÇÍÌÈ
“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta
orang-orang yang ruku” QS. Al-Baqarah(2): 43
Berdasarkan
ayat Al-Qur’an diatas menyatakan bahwa Allah sangat menganjurkan sesama manusia
muslim untuk saling membantu, meringankan beban saudara kita dari jerat
kemiskinan terutama membantu anak yatim dan fakir miskin. Salah satu cara
menanggulanginya dengan mengeluarkan zakat. Mengeluarkan zakat dalam ajaran
Islam termasuk salah satu kewajiban yang harus dilakukan sebagai pembersih diri
dan kekayaan agar menciptakan kesejahteraan, menanggulangi kemiskinan, dan
menumbuhkan kemakmuran pada masyarakat Muslim, seperti yang disebutkan dalam
firman Allah dalam QS. At-taubah(9): 103 yang berbunyi:
õè{ ô`ÏB öNÏlÎ;ºuqøBr& Zps%y|¹ öNèdãÎdgsÜè? NÍkÏj.tè?ur $pkÍ5 Èe@|¹ur öNÎgøn=tæ (
¨bÎ) y7s?4qn=|¹ Ö`s3y öNçl°; 3
ª!$#ur ììÏJy íOÎ=tæ ÇÊÉÌÈ
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu
kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan berdoalah untuk mereka.
Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah
Maha mendengar lagi Maha mengetahui.”
Surah
diatas menyatakan bahwa zakat merukapan salah satu hal tepenting dalam upaya
pengentasan kemiskinan dalam masyarakat. Sebab melalui zakat, dapat terkumpul
dana yang sangat besar terlebih mayoritas penduduk Indonesia adalah Muslim.
Selanjutnya hanya tinggal sejauh mana tingkat kedisiplinan pengelolaan dan
pemberdayaan penggunaannya agar sampai kepada kelompok-kelompok orang yang
berhak menerimanya. Pengeluaran zakat ini amat besar jika dihitung-hitung
dengan penduduk Indonesia yang mayoritas Islam. Belum lagi ditambah dengan
pengeluaran zakat fitrah yang memang kewajiban setiap muslim. Jadi dalam
konteks ini, bukan hanya kerja keras yang diperlukan untuk pengelolaan zakat
namun juga kerja cerdas agar pengelolaan zakat dan pemanfaatannya dapat
menanggulangi kemiskinan.
E.
Kesimpulan
Kemiskinan adalah sumber kebodohan dan keterbelakangan
yang dapat mengurangi makna manusia sebagai mahluk Tuhan yang paling sempurna
dari ciptaan yang lainNya. Jika kemiskinan dibiarkan, manusia akan merasa tidak
bermartabat dan merasa rendah diri. Bahkan jika kemiskinan diacuhkan, bisa
menyebabkan akidah dan moral umat Islam akan terganggu. Oleh karena itu,
Rasulullah mengingatkan agar berhati-hati dengan kemiskinan seperti pada sabda
beliau bahwa :
“hampir
saja kefakiran(kemiskinan) itu mendekati pada kekufuran”
F.
Saran
Kita sebagai umat Islam yang mempunyai pedoman hidup dan
petunjuk hidup yaitu Al-Qur’an, wajib bagi umat Islam berpegang teguh kepada
ajaranNya, mengamalkan ajaran-ajaranNya dan mengaplikasikannya di kehidupan
sehari-hari agar permasalahan yang terjadi seperti kemiskinan, kebodohan dan
lain-lain dapat kita selesaikan berdasarkan anjuran Al-Qur’an dan tidak mungkin
kita tersesat karenanya. Setelah berpegang teguh kepada ajaranNya, selanjutnya
segera mungkin mengaplikasikannya. Berjihad dalam konteks meningkatkan kualitas
umat muslim melalui pendidikan agar meningkatkan kualitas keterampilan,
memperluas jaringan dan akses hubungan sehingga dapat ikut berpartisipasi dalam
pembangunan.
DAFTAR
PUSTAKA
·
Ismail, Asep Usman. 2012. Al-Qur’an dan Kesejahteraan Sosial.
Tanggerang: Lentera hati
·
Syabini, Amirulloh. 2012. Mutiara Al-Qur’an. Jakarta: as@-prima
pustaka
·
Tasmara, Toto. 1995. Etos Kerja Pribadi Muslim. Yogyakarta:
PT. Dana Bhakti Wakaf
[1]
Syabini, Amirulloh. Mutiara Al-Qur’an. (Jakarta: As@-prima pustaka. 2012). hlm.
35
[2]
Al-Raghib al-Ashfahani, op.cit., h.
429
[3]
Ahmad Musthafa al-Maraghi, cet. Ke-1, Jilid X Tafsir al-Maraghi, (Beirut: Dar al-Fikr, 2001/1421), h. 347
[4]Asep
Usman ismail, Al-Quran dan Kesejahteraan
Sosial, Lentera Hati, Tanggerang, 2012, hlm. 79.
[5]
Amirulloh Syarbini, Mutiara Al-Qur’an,
(Jakarta: as@-prima pustaka, 2012), hlm.49
[6]Ibid,hlm. 51
[7]Ibid, hlm. 55
[8]
Toto Tasmara, Etos Kerja Pribadi Muslim, (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf,
1995), hlm.16
[9]
Amirulloh Syarbini, Mutiara Al-Qur’an, (Jakarta: as@-prima pustaka, 2012)
hlm.59
[10]Ibid, hlm. 59